
Beberapa Instansi Swadaya Warga (LSM) mengomentari keras vonis enteng sampai bebas beberapa tersangka kasus Bencana Kanjuruhan Malang yang menyebabkan beberapa ratus orang wafat.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyorot vonis bebas dua tersangka yang disebut anggota kepolisian. Menurutnya, proses penegakan hukum sudah tidak berhasil memberi keadilan untuk korban.
“Faksi berkuasa satu kali lagi tidak berhasil memberi keadilan ke beberapa korban kekerasan aparatur walau sebelumnya sempat janji untuk menuntut pertanggungjawaban dari beberapa pihak yang turut serta,” tutur Usman ke CNNIndonesia.com, Kamis (16/3).
Usman masih tetap menekan pemerintahan untuk pastikan responsibilitas semua aparatur keamanan yang turut serta dalam kasus Bencana Kanjuruhan, terhitung mereka yang ada di tataran instruksi buat memberi keadilan untuk korban dan memutuskan rantai impunitas.
Salah satunya langkah untuk capai hal itu ialah lewat peradilan yang adil, imparsial, terbuka dan mandiri.
“Kasus ini satu kali lagi memperlihatkan skema kekerasan dan penyimpangan kekuasaan yang mengakar kuat dan luas oleh aparatur keamanan di Indonesia,” kata Usman.
“Kasus ironis ini harus jadi peristiwa untuk membenahi kekeliruan dan mengganti haluan, bukan mengulang kekeliruan yang serupa. Minimnya responsibilitas menyampaikan pesan beresiko ke aparatur keamanan jika mereka bisa melakukan tindakan dengan bebas dan tanpa resiko hukum,” pungkasnya.
Konsolidasi Warga Sipil yang terbagi dalam LBH Pos Malang, LBH Surabaya, YLBHI, Lokataru, IM 57+ Institute dan KontraS juga ikut mencela keras vonis lima tersangka kasus Bencana Kanjuruhan.
Mereka menuntut supaya majelis hakim yang menghakimi kasus itu dicheck.
“Kami menekan Komisi Yudisial dan Tubuh Pengawas Mahkamah Agung mengecek majelis hakim yang menghakimi kasus Bencana Kanjuruhan atas sangkaan pelanggaran kaidah,” sebut Andi Muhammad Rezaldy dari KontraS.
Andi mengatakan faksinya semenjak awalnya sudah curigai proses hukum digerakkan tidak benar-benar buat ungkap kasus. Konsolidasi, lanjut ia, menyangka proses hukum ini direncanakan untuk tidak berhasil dalam ungkap kebenaran (intended to fail) dan membuat perlindungan aktor.
“Disamping itu, kami ikut menyaksikan jika proses persidangan itu sebagai sisi proses dari peradilan yang menyimpang (malicious trial process). Sangkaan kami ikut didorong beragam kejanggalan sepanjang persidangan yang kami dapatkan,” kata Andi.
Paksa JPU dipelajari
Periset Imparsial Husein Ahmad menyentuh sepanjang proses hukum terjadi gertakan dan teror pada barisan supporter di Malang yang menuntut keadilan atas kejadian sadis itu.
Ia ikut menekan Kejaksaan Agung untuk lakukan penilaian pada beskal penuntut umum (JPU) yang menggenggam kasus itu.
“Kejaksaan Agung RI wajib melakukan penilaian pada performa kejaksaan yang tidak berhasil mendatangkan bukti-bukti Bencana Kanjuruhan dalam persidangan dan lakukan usaha hukum perlawanan pada keputusan hakim itu untuk tercukupinya rasa keadilan korban dan keluarga korban Bencana Kanjuruhan,” tandas Husein.
Dalam kasus ini, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memvonis Danki 1 Brimob Polda Jawa timur AKP Hasdarmawan dengan pidana 1,lima tahun penjara.
Selanjutnya Bekas Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan Bekas Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto dijatuhi vonis bebas.
Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris dijatuhi vonis pidana 1,lima tahun penjara dan Suko Sutrisno sebagai Security Officer saat laga Arema FC versus Persebaya dijatuhi vonis setahun penjara.
Sementara Direktur Khusus PT LIB Akhmad Hadian Lukita saat ini masih belum sempat digeret ke pengadilan sampai sekarang ini. Kepolisian saat ini masih lengkapi arsip saat sebelum dikirimkan kembali ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.